Dewasa ini masyarakat dikejutkan dengan banyaknya peristiwa kriminal yang melibatkan
anak-anak. Anak tidak hanya menjadi korban tindak kejahatan namun juga menjadi
pelaku tindak kejahatan tersebut. Munculnya kasus kriminal dengan subjek maupun
objek anak-anak memang perlu mendapat kajian khusus. Sebetulnya apa yang
melatarbelakangi anak melakukan hal itu dan bagaimana dinamikanya. Bila kita
berbicara mengenai anak tentu saja kita berbicara mengenai kondisi anak itu
sendiri, orang tua dan keluarga serta lingkungan sekitar. Keluarga sebagai unit
terkecil dalam masyarakat namun memiliki tanggung jawab yang pertama untuk
menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan mencapai
pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal jika kebutuhan dasarnya
terpenuhi, misalnya kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan
psikologis berupa dukungan, perhatian dan kasih sayang. Namun ironisnya justru
orang tua / keluarga lah yang menjadi sumber ancaman dan ketidaktentraman anak,
karena perlakuan salah yang sering diterima anak dari keluarga, khususnya orang
tua. Perlakuan salah tersebut dapat berupa perlakuan yang dapat mengancam terhadap
tumbuh kembang anak salah satunya terhadap perkembangan kepribadian anak.
Perkembangan
kepribadian anak tidak terlepas dari pola pengasuhan di masa kanak-kanak,
bahkan semenjak di dalam kandungan akan mempengaruhi kepribadian di masa-masa
berikutnya. Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa yang paling
potensial untuk menanamkan dasar-dasar kepribadian untuk di masa-masa
berikutnya. Sebagaimana di jelaskan oleh Gunarsa dan Yulia (2008) bahwa masa
perkembangan pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya adalah masa-masa yang
penting untuk bentukan dasar-dasar kepribadian seorang anak. Pada teori
Psikoanalisa, baik S. Freud maupun E. Erikson mengemukakan (dengan orientasinya
yang patologis) pentingnya anak memperoleh dasar-dasar yang baik pada masa-masa
permulaan dari kehidupan anak, agar kelak setelah dewasa tidak mengalami
gangguan-gangguan emosi atau gangguan kepribadian yang berarti. Freud mengemukakan
bahwa proses perkembangan emosi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak harus
berlangsung dengan baik, agar setelah dewasa tidak mengalami kesulitan dengan
keadaan emosinya. Erikson berpendapat bahwa tahun-tahun pertama dari kehidupan
anak penting sekali untuk menanamkan
dasar mempercayai orang lain. Seorang anak yang tidak mengalami dan memperoleh
kasih sayang dan kepuasan dari kebutuhan-kebutuhannya akan mengalami kegagalan
dalam mengembangkan kepercayaan kepada orang lain dan oleh karena itu akan
mengganggu hubungan-hubungan sosialnya di kemudian hari.
Hubungan anak pada masa awal-awal yaitu sejak anak
terlahir ke dunia dapat menjadi model dalam hubungan-hubungan selanjutnya,
terutama hubungan kelekatannya dengan ibu atau yang mengasuhnya. Menurut
Ainsworth (Blesky, 1988) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi
dengan pengasuh di tahun-tahun awal kehidupannya. Intinya adalah kepekaan ibu
dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan bayi, sesegera mungkin atau
menundanya kah sang ibu ketika anak memberikan sinyal tersebut, dan tepat atau
tidakkah respon yang diberikan ibu terhadap anak. Kelekatan yang tidak aman
akan membuat anak mengalami berbagai permasalahan. Kelekatan ini berkaitan erat
dengan pola asuh yang diterapkan orang tua.
Menurut
Euis (2004) pola asuh merupakan serangkaian interaksi yang intensif, orang tua
mengarahkan anak untuk memiliki kecakapan hidup. Pola asuh mempunyai peranan yang sangat
penting bagi perkembangan perilaku moral pada anak, karena dasar perilaku moral
pertama diperoleh anak dari dalam rumahnya yaitu dari orang tua. Penerapan pola
asuh yang tidak tepat memiliki efek yang sangat besar, seperti mengalami
gangguan-gangguan kepribadian. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2002) ada tiga
macam bentuk pola asuh yang diterapkan oleh masing-masing orang tua,
bentuk-bentuk pola asuh tersebut adalah 1) pola asuh permisif 2) pola asuh authoritative/demokrasi
3) pola asuh otoriter.
Sumber: http://mendidikanakanak.blogspot.com/2013/02/apakah-anak-anda-nakal.html. |
Gambar
disamping tampak terlihat seorang ibu sedang memarahi dan memberikan hukuman
terhadap anaknya.
Pola
asuh yang diterapkan oleh orang tua pada gambar diatas termasuk kedalam pola
asuh otoriter. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2002) Pola asuh otoriter
adalah suatu jenis bentuk pola asuh yang menuntut agar anak patuh dan tunduk
terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada
kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapat sendiri. Anak dijadikan
sebagai miniatur hidup dalam pencapaian misi hidupnya. Pola asuh otoriter
merupakan gaya pengasuhan yang membatasi dan bersifat menghukum yang menuntut
anak untuk mengikuti petunjuk orang tua tanpa disertai penjelasan dan kesempatan
pada anak untuk mengutarakan keinginannya. Orang tua membuat batasan dan
kendali yang tegas terhadap anak-anaknya dan hanya melakukan sedikit komunikasi
verbal. Komunikasi dalam pola asuh ini bersifat satu arah, yaitu hanya
bersumber dari orang tua. Jika orang tua mengatakan A maka harus A tidak ada
tawar-menawar. Dalam mengelola pola asuh otoriter ini orang tua biasanya
menerapkan banyak aturan yang harus dipatuhi oleh anak dan memberi hukuman
kepada anak ketika anak melanggar aturan tersebut. Hukuman yang diberikan dapat
berupa dikuranginya uang jajan dan waktu bermain atau tidak diizinkannya
bermain keluar rumah. Dalam mengatasi perilaku anak berkata kotor misalnya,
pada umumnya tindakan yang dilakukan orang tua lebih mengarah pada tindakan
fisik yang dapat menyentuh psikis anak. Tindakan tersebut dapat berupa menjewer
telinga anak, tangan seperti hendak menjentik atau memberi cabe pada anak.
Bahkan tak jarang orang tua dengan pola asuh otoriter ini tidak mengizinkan
anaknya untuk bermain keluar rumah. Hal ini dilakukan karena orang tua
bernaggapan bahwa dengan banyak peraturan yang diterapkan pada anaknya maka ia
akan menjadi orang yang disiplin dan memiliki perilaku moral yang baik karena
dari kecil sudah terbiasa hidup dengan aturan.
Anak
yang dibesarkan dalam keluarga otoriter cenderung merasa tertekan, dan
kemungkinan menjadi penurut atau pembangkang. Mereka tidak mampu mengendalikan diri,
kurang dapat berpikir, kurang percaya diri, pemalu, ragu-ragu, tidak bisa
mandiri, kurang kreatif, kurang dewasa dalam perkembangan moral dan rasa ingin
tahunya rendah. Sebagaimana jika ditinjau dari teori Erikson ketika anak
mengalami rasa tidak percaya diri, maka kedepannya anak akan mengalami rasa
malu, ragu-ragu dan akan tumbuh sikap negative lainnya. Dengan demikian pola
asuh yang otoriter ini akan berdampak negative terhadap perkembangan anak kelak
sehingga anak sulit mengembangkan potensi yang dimilikinya. Adapun jenis kepatuhan
yang dilakukan oleh anak dengan pola asuh otoriter ini adalah Committed Compliance, dimana anak akan
melakukan peraturan yang diterapkan oleh orang tuanya karena takut akan hukuman
atau melakukannya karena ada embel-embel akan di beri hadiah.
Daftar
Pustaka
Blesky, J. (1988). Infancy, Childhood and Adollesence.
ClinicalImplication of Attachment. Lawrence Erlbaum Associate.
Euis,
Sunarti. 2004. Mengasuh Anak dengan Hati.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Gunarsa,
Singgih D & Yulia. 2008. Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia
Santrock,
John. 2002. Perkembangan Masa Hidup Edisi
Ke-5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar