Selasa, 15 Oktober 2013

Pola Asuh Orang tua yang Otoriter


Dewasa ini masyarakat dikejutkan dengan banyaknya peristiwa kriminal yang melibatkan anak-anak. Anak tidak hanya menjadi korban tindak kejahatan namun juga menjadi pelaku tindak kejahatan tersebut. Munculnya kasus kriminal dengan subjek maupun objek anak-anak memang perlu mendapat kajian khusus. Sebetulnya apa yang melatarbelakangi anak melakukan hal itu dan bagaimana dinamikanya. Bila kita berbicara mengenai anak tentu saja kita berbicara mengenai kondisi anak itu sendiri, orang tua dan keluarga serta lingkungan sekitar. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat namun memiliki tanggung jawab yang pertama untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan mencapai pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal jika kebutuhan dasarnya terpenuhi, misalnya kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan psikologis berupa dukungan, perhatian dan kasih sayang. Namun ironisnya justru orang tua / keluarga lah yang menjadi sumber ancaman dan ketidaktentraman anak, karena perlakuan salah yang sering diterima anak dari keluarga, khususnya orang tua. Perlakuan salah tersebut dapat berupa perlakuan yang dapat mengancam terhadap tumbuh kembang anak salah satunya terhadap perkembangan kepribadian anak.
Perkembangan kepribadian anak tidak terlepas dari pola pengasuhan di masa kanak-kanak, bahkan semenjak di dalam kandungan akan mempengaruhi kepribadian di masa-masa berikutnya. Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa yang paling potensial untuk menanamkan dasar-dasar kepribadian untuk di masa-masa berikutnya. Sebagaimana di jelaskan oleh Gunarsa dan Yulia (2008) bahwa masa perkembangan pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya adalah masa-masa yang penting untuk bentukan dasar-dasar kepribadian seorang anak. Pada teori Psikoanalisa, baik S. Freud maupun E. Erikson mengemukakan (dengan orientasinya yang patologis) pentingnya anak memperoleh dasar-dasar yang baik pada masa-masa permulaan dari kehidupan anak, agar kelak setelah dewasa tidak mengalami gangguan-gangguan emosi atau gangguan kepribadian yang berarti. Freud mengemukakan bahwa proses perkembangan emosi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak harus berlangsung dengan baik, agar setelah dewasa tidak mengalami kesulitan dengan keadaan emosinya. Erikson berpendapat bahwa tahun-tahun pertama dari kehidupan anak  penting sekali untuk menanamkan dasar mempercayai orang lain. Seorang anak yang tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang dan kepuasan dari kebutuhan-kebutuhannya akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan kepada orang lain dan oleh karena itu akan mengganggu hubungan-hubungan sosialnya di kemudian hari.
Hubungan  anak pada masa awal-awal yaitu sejak anak terlahir ke dunia dapat menjadi model dalam hubungan-hubungan selanjutnya, terutama hubungan kelekatannya dengan ibu atau yang mengasuhnya. Menurut Ainsworth (Blesky, 1988) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh di tahun-tahun awal kehidupannya. Intinya adalah kepekaan ibu dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan bayi, sesegera mungkin atau menundanya kah sang ibu ketika anak memberikan sinyal tersebut, dan tepat atau tidakkah respon yang diberikan ibu terhadap anak. Kelekatan yang tidak aman akan membuat anak mengalami berbagai permasalahan. Kelekatan ini berkaitan erat dengan pola asuh yang diterapkan orang tua.
Menurut Euis (2004) pola asuh merupakan serangkaian interaksi yang intensif, orang tua mengarahkan anak untuk memiliki kecakapan hidup.  Pola asuh mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan perilaku moral pada anak, karena dasar perilaku moral pertama diperoleh anak dari dalam rumahnya yaitu dari orang tua. Penerapan pola asuh yang tidak tepat memiliki efek yang sangat besar, seperti mengalami gangguan-gangguan kepribadian. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2002) ada tiga macam bentuk pola asuh yang diterapkan oleh masing-masing orang tua, bentuk-bentuk pola asuh tersebut adalah 1) pola asuh permisif 2) pola asuh authoritative/demokrasi 3) pola asuh otoriter.

Sumber: http://mendidikanakanak.blogspot.com/2013/02/apakah-anak-anda-nakal.html.


Gambar disamping tampak terlihat seorang ibu sedang memarahi dan memberikan hukuman terhadap anaknya.


Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua pada gambar diatas termasuk kedalam pola asuh otoriter. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2002) Pola asuh otoriter adalah suatu jenis bentuk pola asuh yang menuntut agar anak patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapat sendiri. Anak dijadikan sebagai miniatur hidup dalam pencapaian misi hidupnya. Pola asuh otoriter merupakan gaya pengasuhan yang membatasi dan bersifat menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti petunjuk orang tua tanpa disertai penjelasan dan kesempatan pada anak untuk mengutarakan keinginannya. Orang tua membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap anak-anaknya dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Komunikasi dalam pola asuh ini bersifat satu arah, yaitu hanya bersumber dari orang tua. Jika orang tua mengatakan A maka harus A tidak ada tawar-menawar. Dalam mengelola pola asuh otoriter ini orang tua biasanya menerapkan banyak aturan yang harus dipatuhi oleh anak dan memberi hukuman kepada anak ketika anak melanggar aturan tersebut. Hukuman yang diberikan dapat berupa dikuranginya uang jajan dan waktu bermain atau tidak diizinkannya bermain keluar rumah. Dalam mengatasi perilaku anak berkata kotor misalnya, pada umumnya tindakan yang dilakukan orang tua lebih mengarah pada tindakan fisik yang dapat menyentuh psikis anak. Tindakan tersebut dapat berupa menjewer telinga anak, tangan seperti hendak menjentik atau memberi cabe pada anak. Bahkan tak jarang orang tua dengan pola asuh otoriter ini tidak mengizinkan anaknya untuk bermain keluar rumah. Hal ini dilakukan karena orang tua bernaggapan bahwa dengan banyak peraturan yang diterapkan pada anaknya maka ia akan menjadi orang yang disiplin dan memiliki perilaku moral yang baik karena dari kecil sudah terbiasa hidup dengan aturan.
Anak yang dibesarkan dalam keluarga otoriter cenderung merasa tertekan, dan kemungkinan menjadi penurut atau pembangkang. Mereka tidak mampu mengendalikan diri, kurang dapat berpikir, kurang percaya diri, pemalu, ragu-ragu, tidak bisa mandiri, kurang kreatif, kurang dewasa dalam perkembangan moral dan rasa ingin tahunya rendah. Sebagaimana jika ditinjau dari teori Erikson ketika anak mengalami rasa tidak percaya diri, maka kedepannya anak akan mengalami rasa malu, ragu-ragu dan akan tumbuh sikap negative lainnya. Dengan demikian pola asuh yang otoriter ini akan berdampak negative terhadap perkembangan anak kelak sehingga anak sulit mengembangkan potensi yang dimilikinya. Adapun jenis kepatuhan yang dilakukan oleh anak dengan pola asuh otoriter ini adalah Committed Compliance, dimana anak akan melakukan peraturan yang diterapkan oleh orang tuanya karena takut akan hukuman atau melakukannya karena ada embel-embel akan di beri hadiah.



Daftar Pustaka                                                                                                
Blesky, J. (1988). Infancy, Childhood and Adollesence. ClinicalImplication of Attachment. Lawrence Erlbaum Associate.
Euis, Sunarti. 2004. Mengasuh Anak dengan Hati. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Gunarsa, Singgih D & Yulia. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia
Santrock, John. 2002. Perkembangan Masa Hidup Edisi Ke-5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar