Perjalananku dimulai
kawan, banyak sekali ibroh yang dapat ku petik. Andai kamu masih ada, ingin aku
berbagi cerita ini secara langsung…
Sore itu… Jum’at, 08
Maret 2013. Aku menunggu balasan sms dari Mia, temanku yang sama-sama mengikuti
kegiatan nyalasar Matagira.
>> Yap, Matagira
merupakan salah satu komunitas pencita alam yang memiliki basic religious dan
memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan pecinta alam yang aku ketahui
di kampus. Kebanyakan orang belum mengetahuinya, aku sendiri mengetahui
matagira melalui binder. Entah mengapa, ketika matagira launching di binder aku langsung tertarik untuk mengikutinya. Ya..
walau tak bisa dipungkiri keraguan memang lebih kuat menggelayut di dinding
hati (cieee :D). Aku mencari penguat ketertarikanku pada matagira dengan
mencoba mengajak beberapa temanku, jawaban mereka kebanyakan hanya tersenyum
dengan menggelengkan kepala pertanda penolakan secara halus (sedih!!), tapi..
ada satu jawaban dari temanku yang membuat aku geli dibuatnya “hmm nggak deh
kayanya, coz ga ada toilet dihutan mah” jawabnya dengan wajah polos. Gubrak!!.
Beberapa minggu kemudian aku mendaftarkan diri melalui sms. “Bismillah” yakinku
dalam hati. <<
Aku berdiri mematung di
ambang pintu kostan menunggu kesiapan temanku, Mia, untuk berangkat bersama
menuju masjid AL-Furqon. Hampir setengah jam aku menunggunya, namun tetap tak
ada sms bahwa ia sudah berangkat dari asramanya. Subhanallah, jadi greget
dibuatnya. Akhirnya ku putuskan untuk berangkat lebih dulu setelah mengetahui
Awliya (yang mnegikuti nyalasar juga) sudah berada di tempat.
***
Selepas shalat maghrib,
kami melaksanakan apel terlebih dahulu sebagai tanda penyerahan serta sambutan
dari ketua tutorial bahwa kegiatan nyalasar akan segera dimulai. Masih menjadi
pertanyaan dalam benakku hendak kemana kita pergi? -,-“
Apel pun usai dengan di
akhiri do’a bersama. Kami bergegas dari masjid Al-Furqon menuju masjid
Baiturrahim. Setibanya disana kami melaksanakan shalat isya, jeda beberapa
menit setelah shalat isya santri akhwat ijin makan soalnya cacing-cacing di
dalam perut sudah demo meminta haknya, yaitu makanan. Dengan kondisi perut
setengah kenyang [(lho?!), karena makannya terburu-buru ditambah satu porsi
dimakan oleh enam orang (coba bayangkan?!)] santri akhwat harus siap membuka
mata dan memasang telinga lebar-lebar untuk menyimak materi penting seputar
tentang pendakian, yang mana pembicaranya dari salah satu anggota Wanadri (asli
baru tau itu PA terkenal :D).
“Bismika allahumma
wabismika amuut”, mencoba memejamkan mata agar tidak terlambat bangun. Sekitar
jam dua lebih, kami dibangunkan untuk melaksanakan qiyamullail. Kebetulan aku
sedang berhalangan jadi ku gunakan waktu ku untuk merapihkan kembali ranselku
dan mulai menempel koyo ‘cabe’ dibagian yang memungkinkan cepat terasa pegal
karena setelah qiyamullail perjalanan akan dilanjutkan.
Kami berkumpul di depan
masjid Baiturrahim dengan satu shaf. Sebelum berangkat, aku kira hanya
pemberian amanat dari mas’ul dan melakukan push up saja, ternyata ada agenda
‘menagih’ uang pendaftaran yang belum dilunasi dan uang transportasi, heuu
terpaksa aku merogoh-rogoh uang di dalam ransel yang sudah ku rapihkan tadi.
“Bismillahi tawakkaltu
laa haula walaa quwwata illa billah”. Udara dingin ini mencoba mengalahkan
langkah kakiku, namun tekad dan semangat karenaNya aku mampu melewati setiap
jalan yang aku lalui bersama saudara-saudaraku. Rasa nyeri pada pundakku mulai
bermunculan. Kami berjalan dari masjid baiturrahim melewati kampus tercinta dan
memasuki kawasan vila cipaku. Alhamdulillah ketika inginku untuk beristirahat
sekedar untuk mengatur napas, kebetulan kang Iqbal panitia yang memandu
perjalanan kami memberikan kesempatan tersebut. Namun tidak seperti istirahat yang
ku bayangkan. Kami memang diberi kesempatan untuk istirahat dengan duduk
berselonjor agar tidak terkena “urat murungkut” (istilah sundanya), dan minum.
Bahkan seringkalinya kami malah di suruh untuk push-up, entah apa tujuannya.
Tak ada yang membantah dan kami semua menurutinya. Lucunya ketika memasuki
kawasan vila Cipaku -yang mana hampir di setiap vila tersebut terdapat hewan
yang bertugas menjaga keamanan yaitu anjing- salah satu panitia ikhwan
menyerukan jargon matagira “MATAGIRA”, serempak kami menjawab “DIEN ALLAHU
AKBAR”. Otomatis hewan penjaga keamanan tersebut langsung menggonggong, mungkin
mereka fikir kami akan melakukan suatu tindak kejahatan (ckckckck). Aku tertawa
dalam hati. Hewan penjaga keamanan tersebut terus menggonggong, dan akhirnya
kami hening tanpa meneriakkan jargon lagi.
Langkah kakiku terasa
semakin ringan, pendengaran terasa sejuk dan hati terasa tentram, ketika
lantunan Qur’an Surat Al-Mulk yang dibacakan disebuah mesjid mengiringi
perjalanan kami. Setibanya di sebuah perkampungan adzan subuh pun berkumandang
dari masjid ke masjid, gema takbir menyerukan untuk kita menghadap sang
pencipta. Kami beristirahat dan melaksankan shalat subuh di sebuah mesjid tersebut
(ntah derah apa namanya, hehe). Setelah tilawah Qur’an dan alma’surat kami
berkumpul di depan masjid, kami disuruh push-up dan jalan jongkok, kali ini
agar kami tidak merasa dingin katanya.
***
Perjalanan dilanjutkan.
Tapi tak lama kami berhenti lagi, tepatnya di rumah salah satu panitia.
Subhanallah.. aku kira mau disuruh push-up lagi ternyata kami disuguhi air teh
panas dan goreng sampeu, (afwan su’udzon, hehe) Alhamdulillah mantap. Setelah
jamuannya habis, kami melanjutkan perjalanan kembali, lalu kami berhenti lagi
dan kali ini kami berhenti untuk membuat yel-yel atau semacam lagu penyemangat
yang bisa dinyanyikan ketika perjalanan berlangsung. Danru ikhwan maju kedepan
untuk menampilkan yel-yel dan lagu penyemangat (katanya). Oh no! yel-yelnya
pernah dipraktekan oleh kelompokku saat pengukuhan binder, ya walaupun agak
sedikit berbeda. Aku terkekeh sendiri mengingat yel-yel ini kalo dibawakan oleh
temanku dengan wajah datarnya tanpa senyum sedikitpun. Dan lagu penyemangatnya
sulit diingat itupun hanya santri ikhwan yang sudah mengetahuinya, santri
akhwat hanya mengikuti dengan nada yang kurang semangat (mungkin karena kurang
hafal liriknya). Dikarenakan dalam menampilkan yel-yel dan lagunya terlihat
tidak kompak dan tidak semangat maka perjalanan dilanjutkan kembali.
Udara masih terasa
sejuk, embun pagi memberikan kesegaran pada setiap helai daun dan reumputan.
Tampak dari atas yaitu jalan yang kami lalui ketika melihat kearah samping
kanan bawah sebuah pemandangan kota Bandung yang dipenuhi dengan petak-petak
rumah dan gedung. Subhanallah.
Lagi-lagi kami berhenti
(perasaan banyak berhentinya ya, hahha) setelah menempuh jalan yang naik turun
–naik turun cukup jauh. Kami dipersilahkan untuk minum dan memakai minyak
komando karena salah satu santri akhwat ada yang tertinggal dan kakinya lecet.
Tidak hanya itu sih, kami diberi sebuah hadiah dari mas’ul. Aku di panggil
beliau untuk memberikan hadiah tersebut pada santri akhwat. Hadiah tersebut
berupa daun yang masih memiliki batang (lebih tepatnya rumput mungkin ya!) yang
mana harus disimpan di ransel masing-masing dengan keadaan tetap beridiri
hingga nanti tiba di tempat yang dituju. Dan yang paling wow untukku pribadi
saat panitia menyuruh untuk merolling ransel kami agar kami saling merasakan
beban yang dipikul oleh temannya. Ok, no problem! Awalnya aku merasa nyaman
dengan ransel temanku, Mia. Tetapi, ketika semua sudah siap melanjutkan
perjalanan dengan ransel yang sudah dirolling.. Tiba-tiba panitia menyuruh kami
berlari. Santri akhwat dipersilahkan untuk berlari terlebih dahulu lalu diikuti
oleh santri ikhwan. Yap, aku berlari dan berusaha terus berlari dengan membawa
beban ransel yang memang bukan kapasitas yang harus aku bawa. “AW..!!” lirihku.
Pinggangku panas dan serasa mau patah. “Subhanallah, astaghfirullah… aku kuat,
aku kuat!!” batinku. Aku tetap berusaha berlari, namun langkahku menjadi terus
melambat dan akhirnya aku izin untuk berhenti dan sekedar untuk mengambil nafas
dan meluruskan tubuhku yang aku merasa sudah mau patah. Hampir saja air mata
menetes dan ingin rasanya menyerah karena saking ngilunya, namun aku tahan. Aku
olesi dengan kayu putih, Alhamdulillah sedikit merasa segar. Aku berdiri, dan
berjalan kembali karena telah tertinggal jauh dari teman-temanku yang lain.
Panitia akhwat mendampingiku dan memberikan semangat bahwa aku mampu, aku pasti
bisa!.
***
Setibanya disebuah
gunung -orang menyebutnya gunung batu-, kami berbaris dua shaf santri akhwat di
depan dan santri ikhwan dibelakang dengan posisi kami berada di atas (mungkin
bisa dibilang punggung gunung kali ya, gatau lah apa namanya --“) sedangkan
salah satu panitia yaitu kang Iqbal di bawah. Eh, tiba-tiba kang Iqbal menyuruh
kami balik kanan dan push-up. Setelah push-up kami disuruh balik kanan lagi dan
lari ke bawah lalu naik lagi dalam keadaan lari juga, katanya sih menguji
ketangguhan para santri. Aku mengerutkan dahi ketika kang Iqbal menyuruh kami
untuk lari kebawah, takut kebablasan. Tapi, pas aku coba lari malah agak
‘kagok’ sama rerumputan yang tinggi-tinggi jadi terpaksa aku meluncurkan diri
dengan ‘nyorodot’ dan ternyata malah benar-benar kebablasan jadi deh paling
akhir pas naik ke atasnya. Aku kira bakal disuruh istirahat, ternyata kami
langsung disuruh ke atas lagi yang mana disana berkumpulnya para panitia yang
sedang mempersiapkan sesuatu untuk kami (jhaha pede!!). Jarak ke atas tuh
lumayan tinggi dan membutuhkan tenaga extra, karena sebelumnya tenaga kami
sudah terkuras untuk push-up dsb.. setibanya di tempat para panitia berada kami
membanting tubuh di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan hijau. Subhanallah,
ini belum seberapa. Pasti. Karena perjalanan ini belum sampai di tempat yang
dituju.
Santri akhwat
dipersilahkan untuk naik ke atas lagi untuk istirahat dan masak, sedangkan
santri ikhwan melakukan climbing. Sesuatu pokoknya! Jalan menuju ke atas itu
ternyata bebatuan dan memang kami sedang berada di gunung batu. Sesuatu,
benar-benar sesuatu. Karena salah satu temanku kakinya keram. Sesuatu kan?!
Kami memasak di atas
gunung batu itu. Yang menjadi kendala terlalu banyak angin yang menyapa
kedatangan kami sehingga api pada kompor paravin maupun kompor spirtus tak
kunjung menyala. Atau, entah karena kelompokku saja yang kurang pandai
menyalakan apinya, hehe. Gelisah, karena waktu yang diberikan benar-benar harus
digunakan semaksimal mungkin. 15 menit (kalo ga salah) untuk masak dan makan.
Tidak terfikirkan sama sekali tentang masakan yang akan kami masak, menanak
nasi tanpa dibersihkan terlebih dahulu dengan wajan yang entah itu bersih atau
tidak. Yang penting makanan cepat tersaji dan kami bisa makan. Jorok?? Ya
memang, Tapi semua ini kami nikmati.
Setelah masak dan makan
selesai, kami bersiap untuk melakukan kegiatan yang memang belum pernah aku
lakukan dan sangat ingin aku lakukan, yaitu rafling (bener ga ya nulisnya?).
Tidak semudah yang aku bayangkan, dimulai dengan memasang pengaman dari webbing
yang di ikatkan pada tubuh (eits.. bukan sembarang ikat-ikat ya, susah
jelasinnya pokonya diikatkan weh, hehehhe). Dag dig dug pas liat temanku Marwah
yang pertama melakukannya, tadinya aku yang kedua tapi aku tawarkan pada yang
Awliya untuk lebih dulu melakukannya. Aku alihkan dag dig dug ini dengan
mengobrol ringan bersama teh Nur dan Mia. Tanpa aku sadari, rasanya ada yang
kurang santri akhwat ini. Ternyata Fini,
tepat berada dibelakangku sedang asyiknya menganyam bulu mata, mungkin
dia kelelahan sampai-sampai masih sempatnya untuk bisa tidur. (Haha kalo bawa
kamera saat itu, pengen deh langsung mendokumentasikannya. Hehe peace ya Fin.)
***
Kegiatan di gununung
batu telah selesai dan kami melanjutkan perjalanan setelah melaksanakan shalat
dzuhur. Kami melanjutkan perjalanan menuju gunung sanggara yang terletak di
perbatasan tiga daerah yaitu Subang, Bandung dan Sumedang. Kami berjalan dari
jalan raya yang ada arah ke cikole, entahlah tepatnya daerah mana.
Kami naik mobil menuju
daerah gunung sanggara. Jauh dari gunung sanggara kami turun dari mobil. Selama
perjalanan di mobil, tak ku sia-siakan kesempatan ini untuk tidur. Walau sebenarnya
sulit untuk tidur, maka aku membaca QS yang harus dihafalkan hingga akhirnya
aku tertidur (hihi).
Kami turun dari mobil
kuning yang membawa kami menuju daerah sanggara. Kami berbaris dan komandan
santri memberikan laporan kepada mas’ulah bahwa kami para santri siap
melaksanakan kegiatan selanjutnya. Mungkin karena gugup komandan santri
berulang kali mengulangi laporannya, yang akhirnya kami harus push-up lagi dan
komandan santri harus diganti.
Jalan yang kami lewati
kali ini naik turun dan berbatu. Selama perjalanan rasa kantuk sungguh
menggelayut pada kantung mata, pergelangan kaki terasa ngilu, dan kerongkongan
mulai kering namun persediaan air hampir habis sedangkan tempat yang dituju
masih jauh. Resah dan letih? Aduh! Jangan ditanya itu sudah pasti. Sesekali aku
berhenti, membungkukkan badan seperti ruku dalam shalat untuk mengambil nafas
lalu berjalan lagi dan mempercepat langkahku dengan maksud agar rasa kantuk ini
hilang. Namun semua letih terbayar saat pemandangan alam menyapaku dengan
rintik hujan. Alam hijau itu menyejukkan fikiran serta hati, kala tasbih,
tahmid, tahlil dan takbir mengiringi langkah kakiku. Terekam dalam ingatan akan
sebuah kalimat yang menjadikanku termotivasi untuk tetap semangat dalam
perjalanan ini. “Anggaplah ransel yang kita bawa ini seperti sebuah dosa”.
Kalimat ini terngiang begitu jelas saat hati mulai menggerutu ini itu. Astaghfirullah.
Sesuatu yang nikmat luar biasa kutemukan lagi, hal ini terjadi saat aku dan teh
nur benar-benar membutuhkan air dan kami menemukan saluran air yang mengalir.
Airnya jernih. Aku mencoba meminumnya, Subhanallah.. kerongkongan kering ini terbasuh air segar,
belum pernah aku merasakan air sesegar ini. Sungguh indah nikmatMu ya Rabb,
telah menciptakan segala sesuatunya tanpa sia-sia.
***
Kami mulai memasuki
hutan sanggara. Sore itu rintik hujan masih tetap menemani. Ada rasa khawatir
saat memasuki hutan tersebut, mungkin karena aku pemula melakukan hal ini.
Sebelumnya.. hanya menyusuri pesawahan dan kebun-kebun. Kami berhenti di tengah
hutan sanggara dan disanalah kami bermalam. (Aku kira, kami akan berhenti
dipuncak, ckckck). Sayup-sayup adzan maghrib terdengar menandakan bahwa langit
akan gelap dan malampun tiba. Sementara santri ikhwan-akhwat shalat, aku dan
awliya diam ditempat sambil mengahafal surat Almulk. Rasa dingin mulai menusuk
pori-pori kulit. Kaku. Walaupun sepanjang perjalanan tadi kami memakai ponco,
tetap saja baju yang kami kenakan basah. Aku coba bergerak-gerak agar tak
dingin dan kaku, tapi hasilnya nihil. Malam ini benar-benar uji nyali. Kali
pertama aku di tengah hutan seperti ini. Dingin yang mengusik, gelap yang
memayungi, hanya berteman dengan sebuah senter yang kupegang erat (takut hilang,
kan gaswat kalo hilang poekk beudd). Alam benar-benar mengujiku.
Sekitar jam 20.00 kami
mulai memasang bivak. Kami disimpan terpisah, dengan jarak yang tidak terlalu
jauh. Ada kesal, takut, kecewa argh pokonya campur aduk. Pemula, ya wajar saja
aku pemula. Rasanya ingin menjerit, protes pada panitia agar kami tidak
dipisah-pisah seperti ini. Gregettt ..!! aku gak bisa caranya memasang atau
mebuat bivak. Yang lebih greget ketika aku tau bahwa aku ditempatkan yang mana
disekelilingnya terdapat banyak pohon pisang dan rumput-rumput tinggi serta
hewan melata yang mungil hinggap di batang pisang juga di dedaunan rumput
tinggi tersebut. “taukah akang? Saya takut HILEUD!! Please, jangan disini”
kalimat ini yang pertama muncul dibenakku, saat kang Iqbal benar-benar
menempatkanku didaerah ini.
“seandainya bukan malam hari, dan aku tau arah
jalan pulang.. aku pengen kabur!!, sayangnya aku tak tau arah jalan pulang”
batinku. “eh jangan kabur, niat kamu disini mau apa? Masa baru segini aja kamu
ciut? Inget tujuan utama kamu apa?! Ini belum seberapa hey!!!!”. Batinku
berseteru. Aku masih mematung. Sulit sekali rasanya bergerak untuk memulai
membuat bivak ini. (sieun hileuddd pangpangna mah T.T). Aku coba memanggil Mia
dan menghampirinya, bertanya mengenai pembuatan bivak. Aku kembali lagi
ketempat untuk memulai membuatnya, tapi masih ragu. Diam lagi, dan mematung.
Gelisah. Akhirnya aku memanggil panitia akhwat, Alhamdulillah teh Ana mau
membantuku, walau ternyata aku belum bergerak penuh –masih ragu-. Aku menghela
nafas, beristighfar dan mencoba memberanikan diri untuk bergerak maksimal.
Alhamdulillah, bivak ku jadi.. horee (eh tapi asa aneh bivak teh, ga ada jalan
buat masuknya ditambah bentuknya juga aneh, ga mirip sama yang pernah dijelasin
sama kang Dera, jauh bgt malah, haha. Maklum, PEMULA- haha keukeuh-).
Yeye lalala yeyeye
lalala bivaknya jadi. Setelah itu kami diperkenankan memasak untuk makan malam.
Males, kalo boleh jujur. Pengennya langsung istirahat soalnya udah kedinginan
banget. Akhirnya sih kami masak, tapi cuma masak mie goreng. Sebelum makan,
olah raga dulu dengan tujuan agar kami gak merasa terlalu dingin. Sebelum kami
memakan masakan kami, kami diberi hadiah berupa suapan oleh mas’ulah yaitu oleh
teh Ria. Katanya sih masakan special buat kami. Setelah dicicipi, oh wow
amazing ada kriuk-kriuknya yang ternyata itu adalah jengkol. Hah-hah-hah.
Untung masih wangi, mulutnya gak bau jengkol.
Akhirnya kami
dipersilahkan untuk istirahat. Jaket, sapu tangan, syal dan kaos kaki sudah aku
kenakan. Aku mencoba memejamkan mata, berdo’a. Masih belum bisa tidur,
berkali-kali berdo’a dan membacakan qur’an surat-surat pendek tetap saja ada
kejanggalan dalam hati. Malam semakin larut, entah jam berapa. Jadi gak tenang,
khawatir, takut, dingin.. campur aduk. Sesekali mendengar dengusan suara
marwah, lumayan tidak terlalu tiiiseun, serasa ada teman. Hhehee. Akhirnya sih
terlelap juga. Sekitar jam 2 pagi aku terbangun dengan teriakan kang heri yang
memang sedang membangunkan kami untuk qiyamulllail. Sebetulnya sih udah bangun
tapi ga berani buka mata, hehe. Santri akhwat telat lagi. Sebagai iqobnya kami
semua –santri ikhwan akhwat- harus push-up. Subhanallah, terlambat satu detik
sama dengan satu kali push-up dan satu orang terlambat sama dengan semua yang
kena iqobnya.
Setelah qiyamullail,
kami berkumpul. Diteriaki, ditanya tentang tujuan kami mengikuti nyalasar ini?!
Lucunya ketika ada yang menjawab bahwa
mengikuti nyalasar ini adalah untuk mencari ridho Allah, lalu mas’ul (kang
Dera) menyuruh kami untuk balik kanan dan mencari ridho Allah tersebut kami
menurutinya. Bahkan yang memang membuatku heran ko ikhwan malah nyenter-nyenter
pepohonan? Haha tapi aku mengikutinya barangkali aja aku menemukan inspirasi
untuk menjawab pertanyaan yang lain dari kang Dera. Mungkin kang dera kesal
pada kami, akhirnya akhwat disuruh ke depan tenda panitia akhwat. Aku kira
akhwat disuruh kembali ke bivaknya masing-masing, ternyata salah. Kami disuruh
berdiri dan bershaf, lalu berhadapan dengan temannya. Astahfirullah, kang Dera
menyuruh kami untuk saling menampar, supaya kami gak kedinginan katanya.
Kebetulan sekali aku berhadapan dengan Awliya. Oh wooww tamparan dia keras dan
benar terasa peureus. Entah kenapa aku tamparanku perasaan melesat terus,
mungkin gugup menampar teman sendiri. Asli, Awliya terlihat asyik menamparku,
dikiranya ini pipi adonan kali ya?! L
Setelah acara tampar
menampar selesai Alhamdulillah tak berbekas sakitnya. Oh tidak cukup dengan
tampar menampar, aku disuruh untuk tidur. Hampir saja aku berlalu ke bivak,
untungnya aku bertanya terlebih dahulu dan ternyata aku harus tidur ditanah
yang aku injak ini. Disusul oleh Awliya menindihku, lalu Marwah, dan yang
paling atas adalah mia. Subhanallah.. badan yang ramping ini ditempatkan di
paling bawah dan harus menahan beban berat temanku yang lain yang lebih besar
dari aku. Syukurnya aku jadi gak merasa kedinginan lagi. Kami disuruh kumpul
lagi ditempat utama. Berhadapan lagi, dan lagi-lagi aku berhadapan dengan
Awliya (jodoh kali ya, haha *eh) kali ini bukan acara tampar menampar, tapi
meletakkan telapak tangan di pipi temannya, mengusapnya dan mengikuti apa yang
dikatakan oleh kang Ence. Setelah mengusap pipi kiri dan kanan temannya,
berganti mengusap ujung hidung temannya. Lucu campur geli, Awliya bukan
mengusap hidungku, tapi dia malah memutar-mutar hidungku dengan telunjuknya.
Aduh! Gak kuat pengen ketawa, sekalinya ketawa kena marah deh. Haha asli itu
yang paling aku ingat dari keisengan Awliya. Lalu ganti lagi dengan menempelkan
pipi kami dengan teman yang dihadapannya sambil berpelukan. Moment ini yang
membuatku terharu. Setiap kata yang kang Ence ucapakan mengingatkanku pada
almarhumah sahabatku yang seminggu lalu telah berpulang lebih dulu. Hampir saja
air mata ini menetes, aku tahan (malu ih tiba-tiba nangis mah). Aku lepaskan
tempelan pipi ini karena melihat temanku yang lain sudah melepaskannya, tapi
Awliya nyeletuk “eh belum tau, itu ikhwannya masih gitu”. “oh belum gitu? Tapi
itu akhwat yang lain udah pada lepas ul..” bisikku di telinganya, karena posisi
kami kembali saling tempel pipi. Sebenernya sih ragu tempelan lagi tuh, tapi
yasudahlah nurut aja. Tak lama kemudian eh, salah satu panitia ikhwan ada yang
menyeru pada kami berdua untuk melepaskan tempelan pipi ini. Aduhaii… malu
sekali, ternyata memang sudah kembali ke posisi semula hanya kami berdua yang
masih anteng dengan posisi tempelan ini. (asli maluuu).
Rencananya selepas
acara berhadap-hadapan ini kami akan melakukan sebuah tradisi menyambut anggota
baru berupa penyematan syal Matagira. Namun, saat mas’ul (kang dera) hendak
menyampaikan sambutannya acara penyematan ini dibatalkan. Benar-benar batal.
Semua lilin yang menyala dan sudah terpajang rapih membentuk lingkaran ini
disuruhnya untuk di padamkan. Deg! Kaget. Apalagi dengan nadanya yang setengah
terlihat kesal membuatku ciut. Katanya kami para santri tidak layak menjadi
anggota Matagira, karena kami terlihat tidak sungguh-sungguh melakukan nyalasar
ini terutama dalam hal kedisiplinan kami masih suka terlambat. Ya aku akui
memang masih jauh untuk disebut disiplin. Semua diam dan hening. Akhirnya kami
dipersilahkan bubar dan kembali ke tenda masing-masing. Tak lama dari itu adzan
subuh berkumandang.
***
Selepas shalat subuh
kami membaca al-ma’surat bersama, kultum oleh salah satu santri ikhwan yaitu
Widi serta olahraga. Aku tak melewati moment pagi yang sejuk ini, aku hirup
dalam-dalam udara pagi ini, subhanallah segar. Udara bersih tanpa polusi. Pagi
ini alam ikut bertasbih, dedaunan yang melambai-lambai angin yang bertiup seolah
itu adalah suara gemericik air dan berpadu dengan kicauan burung yang mirip
seperti burung mockgay. Merdu. Subhanallah.
Kami membereskan bivak
dan perlengkapan lainnya. Membuat sarapan pagi dengan menu mie instan serta
sarden. Semua instan, karena berlomba dengan waktu. Tapi tetap saja kami
terlambat berkumpul. Setelah barang bawaan kami dirapihkan di tempat utama,
kami berkumpul untuk melakukan pemuncakkan ke gunung sanggara ini. Seneng
rasanya, gak sabar pengen berada di puncak. Sayangnya kami hanya diberi waktu
yang mungkin cukup bagi pendaki yang sudah hafal medan jalannya, tapi bagi kami
sebagai pemula, benar-benar ujian. Sepanjang pemuncakkan kami berputar-putar
mengelililngi kaki gunung. Salah jalan. Aku yang memang awam tentang pendakian
ini hanya mengikuti mas’ulah dan berdo’a agar aku bisa kembali turun dengan
selamat. Xixixi. Hampir saja kami berhasil tiba di puncak, karena berbagai hal
terutama masalah waktu, yang mana kami di amanahi sampai jam 10.40 (kalo ga
salah) mau tak mau harus segera turun. Akhirnya dengan berat hati tapi setuju
(dari pada dapet hukuman yang wooww gitu) kami memutuskan untuk turun. Miris sekali
ketika kami istirahat dan memakan beberapa perbekalan yang kami bawa ternyata
(katanya, allahu ‘alam sih :D) mas’ulah kehilangan jejak. Aku kira beliau turun
lagi, ternyata beliau mendahului kami ke puncak dengan jalurnya sendiri. Kami
melanjutkan peerjalanan turun ini, yang mana tak lama kemudian terdengar
teriakan kang Ence menghitung sebagai tanda bahwa kami akan mendapat iqob lagi
jika tak tepat waktu. Eh ternyata benar saja dugaanku. Di push-up lagi bro!
***
Yeahh!! Akhirnya
pulang. Kami keluar dari hutan sanggara, lari, ya kami disuruh lari. Jalanan sangat
licin mungkin karena kemarin hujan terus mengguyur bumi ini. ketika turunan, keseimbanganku
hilang akhirnya aku terpeleset. Sakit sekali ini pinggangnya. Tapi aku tak
terlalu menghiraukannya takut ketinggalan sama yang lain. Setelah menempuh
jarak yang cukup lumayan jauh, Alhamdulillah istirahat, setibanya di tempat
yang telah panitia sediakan yaitu hamparan ladang yang hijau. Kami berkumpul
lagi, kali ini panitia menyuguhkan makanan dengan racikan alami (katanya).
Makanan itu dibungkus dengan dedaunan menyerupai jagung, ketika kami
mencicipinya (disuapin sama teh ika) subhanallah asem, manis, asin.. kaya
permen nano rasanya. Racikan itu tiada lain mengandung asin kere penyedap rasa.
Haha.
Setelah makan masakan
panitia tadi, kami mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat dzuhur. Selepas
shalat dzuhur kami share bersama teh ika terkait tentang matagira. Karena
asyiknya share dengan beliau, sampai-sampai saat panitia meneriaki kami dengan
hitungan pertanda kami harus segera berkumpul di sumber suara. Terlambat lagi.
Akhirnya kami mendapat hadiah berupa jalan jongkok, berenang di sungai kecil,
tiarap di rerumputan hijau serta saling menyiramkan air pada wajah teman yang
ada dihadapannya. Kali ini aku berpasangan dengan Mia. Setiap satu kali kami
menyiram wajah teman kami, berarti satu ucapan memohon ampunan padaNya, baik
itu terkait tentang tujuan atau niat kami yang belum lurus untuk mengikuti
nyalasar ini atau sikap dan ucap yang tak disadari telah menyakiti orang
disekitar. Setelah itu kami berkumpul kembali diatas rerumputan hijau dengan
keadaan basah kuyup. Kami diminta untuk menyebutkan hikayat matagira dari 1-10
dan pemberian nama rimba. Nama rimbaku “geblug”, filosofinya mungkin karena aku
sering mengatakan kata nyorodot yang akhirnya aku terpeleset seperti nyorodot
pula. Nasib. Setelah semua para santri memiliki nama rimba, kami melanjutkan
perjalanan pulang.
***
“Angkot kuning
melajulah dengan cepat bawalah kami kembali menuju kampus tercinta” gumamku
antusias. Semua terlelap dengan baju basahnya. Aku terbangun dan bertanya-tanya
sendiri saat mobil yang kami tumpangi tak lagi melintasi jalan raya yang biasa
aku lewati jika pulang dari kampong halaman. Ah mungkin memotong jalan, fikirku
tak ambil pusing dan kembali aku tidur. zzzZZZzz. Tak lama kemudian mobil yang
kami tumpangi ini berhenti di daerah cipaku. Ada yang tak beres nih gumamku.
Dan benar saja, kami turun dari mobil lalu kami harus menggerakkan tubuh dengan
berlari-lari seraya bernyanyi. Setelah itu, kami benar-benar kembali ke kampus
tercinta dengan berlari dan tetap berpegangan tangan satu sama lain tak boleh
lepas. Rasa dingin ini menyeruak pada setiap pori. Mega merah telah menyapa
dipenghujung acara ini, pelangipun melambaikan senyuman terindahnya meski bias
warna yang terlihat. Sungguh, senja yang membuat rona wajah kembali
berseri. Kami terus berlari dengan
posisi yang sama, berpegangan tangan. Hingga akhirnya tepat saat kami memasuki
kampus tercinta menuju halaman masjid Al-Furqon, kami semua bertakbir… ALLAHU
AKBAR!! MATAGIRA DIEN ALLAHU AKBAR!!
Kami, santri nyalasar
resmi menjadi anggota muda angkatan pertama dengan penyematan syal biru oleh
orang-orang tercinta. THE END ^_^
Tiada langkah terayun
tanpa dzikir terlantun. Bahwasanya setiap gerak yang kita lakukan semoga
bernilai ibadah dihadapanNYa. Bersama keluarga baru, MATAGIRA, berharap aku
dapat lebih mengkondusifkan dan mendekatkan diri kepadaNYa.
Waah gak nyangka disuruh saling tampar.. hehee
BalasHapusMantaaap (y) :D
tenang nanti mah bakal yg lbh unik dr menampar :D
BalasHapusMasya Allah, ini mah lebih lebih NYALASAR-nyaa :'(
BalasHapus