Rabu, 01 Mei 2013

Langkahku Terayun Menuju Sanggara


Perjalananku dimulai kawan, banyak sekali ibroh yang dapat ku petik. Andai kamu masih ada, ingin aku berbagi cerita ini secara langsung…

Sore itu… Jum’at, 08 Maret 2013. Aku menunggu balasan sms dari Mia, temanku yang sama-sama mengikuti kegiatan nyalasar Matagira.

>> Yap, Matagira merupakan salah satu komunitas pencita alam yang memiliki basic religious dan memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan pecinta alam yang aku ketahui di kampus. Kebanyakan orang belum mengetahuinya, aku sendiri mengetahui matagira melalui binder. Entah mengapa, ketika matagira launching di binder aku langsung tertarik untuk mengikutinya. Ya.. walau tak bisa dipungkiri keraguan memang lebih kuat menggelayut di dinding hati (cieee :D). Aku mencari penguat ketertarikanku pada matagira dengan mencoba mengajak beberapa temanku, jawaban mereka kebanyakan hanya tersenyum dengan menggelengkan kepala pertanda penolakan secara halus (sedih!!), tapi.. ada satu jawaban dari temanku yang membuat aku geli dibuatnya “hmm nggak deh kayanya, coz ga ada toilet dihutan mah” jawabnya dengan wajah polos. Gubrak!!. Beberapa minggu kemudian aku mendaftarkan diri melalui sms. “Bismillah” yakinku dalam hati.  <<
Aku berdiri mematung di ambang pintu kostan menunggu kesiapan temanku, Mia, untuk berangkat bersama menuju masjid AL-Furqon. Hampir setengah jam aku menunggunya, namun tetap tak ada sms bahwa ia sudah berangkat dari asramanya. Subhanallah, jadi greget dibuatnya. Akhirnya ku putuskan untuk berangkat lebih dulu setelah mengetahui Awliya (yang mnegikuti nyalasar juga) sudah berada di tempat.
***

Selepas shalat maghrib, kami melaksanakan apel terlebih dahulu sebagai tanda penyerahan serta sambutan dari ketua tutorial bahwa kegiatan nyalasar akan segera dimulai. Masih menjadi pertanyaan dalam benakku hendak kemana kita pergi? -,-“
Apel pun usai dengan di akhiri do’a bersama. Kami bergegas dari masjid Al-Furqon menuju masjid Baiturrahim. Setibanya disana kami melaksanakan shalat isya, jeda beberapa menit setelah shalat isya santri akhwat ijin makan soalnya cacing-cacing di dalam perut sudah demo meminta haknya, yaitu makanan. Dengan kondisi perut setengah kenyang [(lho?!), karena makannya terburu-buru ditambah satu porsi dimakan oleh enam orang (coba bayangkan?!)] santri akhwat harus siap membuka mata dan memasang telinga lebar-lebar untuk menyimak materi penting seputar tentang pendakian, yang mana pembicaranya dari salah satu anggota Wanadri (asli baru tau itu PA terkenal :D).
“Bismika allahumma wabismika amuut”, mencoba memejamkan mata agar tidak terlambat bangun. Sekitar jam dua lebih, kami dibangunkan untuk melaksanakan qiyamullail. Kebetulan aku sedang berhalangan jadi ku gunakan waktu ku untuk merapihkan kembali ranselku dan mulai menempel koyo ‘cabe’ dibagian yang memungkinkan cepat terasa pegal karena setelah qiyamullail perjalanan akan dilanjutkan.
Kami berkumpul di depan masjid Baiturrahim dengan satu shaf. Sebelum berangkat, aku kira hanya pemberian amanat dari mas’ul dan melakukan push up saja, ternyata ada agenda ‘menagih’ uang pendaftaran yang belum dilunasi dan uang transportasi, heuu terpaksa aku merogoh-rogoh uang di dalam ransel yang sudah ku rapihkan tadi.
“Bismillahi tawakkaltu laa haula walaa quwwata illa billah”. Udara dingin ini mencoba mengalahkan langkah kakiku, namun tekad dan semangat karenaNya aku mampu melewati setiap jalan yang aku lalui bersama saudara-saudaraku. Rasa nyeri pada pundakku mulai bermunculan. Kami berjalan dari masjid baiturrahim melewati kampus tercinta dan memasuki kawasan vila cipaku. Alhamdulillah ketika inginku untuk beristirahat sekedar untuk mengatur napas, kebetulan kang Iqbal panitia yang memandu perjalanan kami memberikan kesempatan tersebut. Namun tidak seperti istirahat yang ku bayangkan. Kami memang diberi kesempatan untuk istirahat dengan duduk berselonjor agar tidak terkena “urat murungkut” (istilah sundanya), dan minum. Bahkan seringkalinya kami malah di suruh untuk push-up, entah apa tujuannya. Tak ada yang membantah dan kami semua menurutinya. Lucunya ketika memasuki kawasan vila Cipaku -yang mana hampir di setiap vila tersebut terdapat hewan yang bertugas menjaga keamanan yaitu anjing- salah satu panitia ikhwan menyerukan jargon matagira “MATAGIRA”, serempak kami menjawab “DIEN ALLAHU AKBAR”. Otomatis hewan penjaga keamanan tersebut langsung menggonggong, mungkin mereka fikir kami akan melakukan suatu tindak kejahatan (ckckckck). Aku tertawa dalam hati. Hewan penjaga keamanan tersebut terus menggonggong, dan akhirnya kami hening tanpa meneriakkan jargon lagi.
Langkah kakiku terasa semakin ringan, pendengaran terasa sejuk dan hati terasa tentram, ketika lantunan Qur’an Surat Al-Mulk yang dibacakan disebuah mesjid mengiringi perjalanan kami. Setibanya di sebuah perkampungan adzan subuh pun berkumandang dari masjid ke masjid, gema takbir menyerukan untuk kita menghadap sang pencipta. Kami beristirahat dan melaksankan shalat subuh di sebuah mesjid tersebut (ntah derah apa namanya, hehe). Setelah tilawah Qur’an dan alma’surat kami berkumpul di depan masjid, kami disuruh push-up dan jalan jongkok, kali ini agar kami tidak merasa dingin katanya.
 ***

Perjalanan dilanjutkan. Tapi tak lama kami berhenti lagi, tepatnya di rumah salah satu panitia. Subhanallah.. aku kira mau disuruh push-up lagi ternyata kami disuguhi air teh panas dan goreng sampeu, (afwan su’udzon, hehe) Alhamdulillah mantap. Setelah jamuannya habis, kami melanjutkan perjalanan kembali, lalu kami berhenti lagi dan kali ini kami berhenti untuk membuat yel-yel atau semacam lagu penyemangat yang bisa dinyanyikan ketika perjalanan berlangsung. Danru ikhwan maju kedepan untuk menampilkan yel-yel dan lagu penyemangat (katanya). Oh no! yel-yelnya pernah dipraktekan oleh kelompokku saat pengukuhan binder, ya walaupun agak sedikit berbeda. Aku terkekeh sendiri mengingat yel-yel ini kalo dibawakan oleh temanku dengan wajah datarnya tanpa senyum sedikitpun. Dan lagu penyemangatnya sulit diingat itupun hanya santri ikhwan yang sudah mengetahuinya, santri akhwat hanya mengikuti dengan nada yang kurang semangat (mungkin karena kurang hafal liriknya). Dikarenakan dalam menampilkan yel-yel dan lagunya terlihat tidak kompak dan tidak semangat maka perjalanan dilanjutkan kembali.
Udara masih terasa sejuk, embun pagi memberikan kesegaran pada setiap helai daun dan reumputan. Tampak dari atas yaitu jalan yang kami lalui ketika melihat kearah samping kanan bawah sebuah pemandangan kota Bandung yang dipenuhi dengan petak-petak rumah dan gedung. Subhanallah.
Lagi-lagi kami berhenti (perasaan banyak berhentinya ya, hahha) setelah menempuh jalan yang naik turun –naik turun cukup jauh. Kami dipersilahkan untuk minum dan memakai minyak komando karena salah satu santri akhwat ada yang tertinggal dan kakinya lecet. Tidak hanya itu sih, kami diberi sebuah hadiah dari mas’ul. Aku di panggil beliau untuk memberikan hadiah tersebut pada santri akhwat. Hadiah tersebut berupa daun yang masih memiliki batang (lebih tepatnya rumput mungkin ya!) yang mana harus disimpan di ransel masing-masing dengan keadaan tetap beridiri hingga nanti tiba di tempat yang dituju. Dan yang paling wow untukku pribadi saat panitia menyuruh untuk merolling ransel kami agar kami saling merasakan beban yang dipikul oleh temannya. Ok, no problem! Awalnya aku merasa nyaman dengan ransel temanku, Mia. Tetapi, ketika semua sudah siap melanjutkan perjalanan dengan ransel yang sudah dirolling.. Tiba-tiba panitia menyuruh kami berlari. Santri akhwat dipersilahkan untuk berlari terlebih dahulu lalu diikuti oleh santri ikhwan. Yap, aku berlari dan berusaha terus berlari dengan membawa beban ransel yang memang bukan kapasitas yang harus aku bawa. “AW..!!” lirihku. Pinggangku panas dan serasa mau patah. “Subhanallah, astaghfirullah… aku kuat, aku kuat!!” batinku. Aku tetap berusaha berlari, namun langkahku menjadi terus melambat dan akhirnya aku izin untuk berhenti dan sekedar untuk mengambil nafas dan meluruskan tubuhku yang aku merasa sudah mau patah. Hampir saja air mata menetes dan ingin rasanya menyerah karena saking ngilunya, namun aku tahan. Aku olesi dengan kayu putih, Alhamdulillah sedikit merasa segar. Aku berdiri, dan berjalan kembali karena telah tertinggal jauh dari teman-temanku yang lain. Panitia akhwat mendampingiku dan memberikan semangat bahwa aku mampu, aku pasti bisa!.
***

Setibanya disebuah gunung -orang menyebutnya gunung batu-, kami berbaris dua shaf santri akhwat di depan dan santri ikhwan dibelakang dengan posisi kami berada di atas (mungkin bisa dibilang punggung gunung kali ya, gatau lah apa namanya --“) sedangkan salah satu panitia yaitu kang Iqbal di bawah. Eh, tiba-tiba kang Iqbal menyuruh kami balik kanan dan push-up. Setelah push-up kami disuruh balik kanan lagi dan lari ke bawah lalu naik lagi dalam keadaan lari juga, katanya sih menguji ketangguhan para santri. Aku mengerutkan dahi ketika kang Iqbal menyuruh kami untuk lari kebawah, takut kebablasan. Tapi, pas aku coba lari malah agak ‘kagok’ sama rerumputan yang tinggi-tinggi jadi terpaksa aku meluncurkan diri dengan ‘nyorodot’ dan ternyata malah benar-benar kebablasan jadi deh paling akhir pas naik ke atasnya. Aku kira bakal disuruh istirahat, ternyata kami langsung disuruh ke atas lagi yang mana disana berkumpulnya para panitia yang sedang mempersiapkan sesuatu untuk kami (jhaha pede!!). Jarak ke atas tuh lumayan tinggi dan membutuhkan tenaga extra, karena sebelumnya tenaga kami sudah terkuras untuk push-up dsb.. setibanya di tempat para panitia berada kami membanting tubuh di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan hijau. Subhanallah, ini belum seberapa. Pasti. Karena perjalanan ini belum sampai di tempat yang dituju.
Santri akhwat dipersilahkan untuk naik ke atas lagi untuk istirahat dan masak, sedangkan santri ikhwan melakukan climbing. Sesuatu pokoknya! Jalan menuju ke atas itu ternyata bebatuan dan memang kami sedang berada di gunung batu. Sesuatu, benar-benar sesuatu. Karena salah satu temanku kakinya keram. Sesuatu kan?!
Kami memasak di atas gunung batu itu. Yang menjadi kendala terlalu banyak angin yang menyapa kedatangan kami sehingga api pada kompor paravin maupun kompor spirtus tak kunjung menyala. Atau, entah karena kelompokku saja yang kurang pandai menyalakan apinya, hehe. Gelisah, karena waktu yang diberikan benar-benar harus digunakan semaksimal mungkin. 15 menit (kalo ga salah) untuk masak dan makan. Tidak terfikirkan sama sekali tentang masakan yang akan kami masak, menanak nasi tanpa dibersihkan terlebih dahulu dengan wajan yang entah itu bersih atau tidak. Yang penting makanan cepat tersaji dan kami bisa makan. Jorok?? Ya memang, Tapi semua ini kami nikmati.
Setelah masak dan makan selesai, kami bersiap untuk melakukan kegiatan yang memang belum pernah aku lakukan dan sangat ingin aku lakukan, yaitu rafling (bener ga ya nulisnya?). Tidak semudah yang aku bayangkan, dimulai dengan memasang pengaman dari webbing yang di ikatkan pada tubuh (eits.. bukan sembarang ikat-ikat ya, susah jelasinnya pokonya diikatkan weh, hehehhe). Dag dig dug pas liat temanku Marwah yang pertama melakukannya, tadinya aku yang kedua tapi aku tawarkan pada yang Awliya untuk lebih dulu melakukannya. Aku alihkan dag dig dug ini dengan mengobrol ringan bersama teh Nur dan Mia. Tanpa aku sadari, rasanya ada yang kurang santri akhwat ini. Ternyata Fini,  tepat berada dibelakangku sedang asyiknya menganyam bulu mata, mungkin dia kelelahan sampai-sampai masih sempatnya untuk bisa tidur. (Haha kalo bawa kamera saat itu, pengen deh langsung mendokumentasikannya. Hehe peace ya Fin.)
***

Kegiatan di gununung batu telah selesai dan kami melanjutkan perjalanan setelah melaksanakan shalat dzuhur. Kami melanjutkan perjalanan menuju gunung sanggara yang terletak di perbatasan tiga daerah yaitu Subang, Bandung dan Sumedang. Kami berjalan dari jalan raya yang ada arah ke cikole, entahlah tepatnya daerah mana.
Kami naik mobil menuju daerah gunung sanggara. Jauh dari gunung sanggara kami turun dari mobil. Selama perjalanan di mobil, tak ku sia-siakan kesempatan ini untuk tidur. Walau sebenarnya sulit untuk tidur, maka aku membaca QS yang harus dihafalkan hingga akhirnya aku tertidur (hihi).
Kami turun dari mobil kuning yang membawa kami menuju daerah sanggara. Kami berbaris dan komandan santri memberikan laporan kepada mas’ulah bahwa kami para santri siap melaksanakan kegiatan selanjutnya. Mungkin karena gugup komandan santri berulang kali mengulangi laporannya, yang akhirnya kami harus push-up lagi dan komandan santri harus diganti.
Jalan yang kami lewati kali ini naik turun dan berbatu. Selama perjalanan rasa kantuk sungguh menggelayut pada kantung mata, pergelangan kaki terasa ngilu, dan kerongkongan mulai kering namun persediaan air hampir habis sedangkan tempat yang dituju masih jauh. Resah dan letih? Aduh! Jangan ditanya itu sudah pasti. Sesekali aku berhenti, membungkukkan badan seperti ruku dalam shalat untuk mengambil nafas lalu berjalan lagi dan mempercepat langkahku dengan maksud agar rasa kantuk ini hilang. Namun semua letih terbayar saat pemandangan alam menyapaku dengan rintik hujan. Alam hijau itu menyejukkan fikiran serta hati, kala tasbih, tahmid, tahlil dan takbir mengiringi langkah kakiku. Terekam dalam ingatan akan sebuah kalimat yang menjadikanku termotivasi untuk tetap semangat dalam perjalanan ini. “Anggaplah ransel yang kita bawa ini seperti sebuah dosa”. Kalimat ini terngiang begitu jelas saat hati mulai menggerutu ini itu. Astaghfirullah. Sesuatu yang nikmat luar biasa kutemukan lagi, hal ini terjadi saat aku dan teh nur benar-benar membutuhkan air dan kami menemukan saluran air yang mengalir. Airnya jernih. Aku mencoba meminumnya, Subhanallah..  kerongkongan kering ini terbasuh air segar, belum pernah aku merasakan air sesegar ini. Sungguh indah nikmatMu ya Rabb, telah menciptakan segala sesuatunya tanpa sia-sia.
***

Kami mulai memasuki hutan sanggara. Sore itu rintik hujan masih tetap menemani. Ada rasa khawatir saat memasuki hutan tersebut, mungkin karena aku pemula melakukan hal ini. Sebelumnya.. hanya menyusuri pesawahan dan kebun-kebun. Kami berhenti di tengah hutan sanggara dan disanalah kami bermalam. (Aku kira, kami akan berhenti dipuncak, ckckck). Sayup-sayup adzan maghrib terdengar menandakan bahwa langit akan gelap dan malampun tiba. Sementara santri ikhwan-akhwat shalat, aku dan awliya diam ditempat sambil mengahafal surat Almulk. Rasa dingin mulai menusuk pori-pori kulit. Kaku. Walaupun sepanjang perjalanan tadi kami memakai ponco, tetap saja baju yang kami kenakan basah. Aku coba bergerak-gerak agar tak dingin dan kaku, tapi hasilnya nihil. Malam ini benar-benar uji nyali. Kali pertama aku di tengah hutan seperti ini. Dingin yang mengusik, gelap yang memayungi, hanya berteman dengan sebuah senter yang kupegang erat (takut hilang, kan gaswat kalo hilang poekk beudd). Alam benar-benar mengujiku.
Sekitar jam 20.00 kami mulai memasang bivak. Kami disimpan terpisah, dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Ada kesal, takut, kecewa argh pokonya campur aduk. Pemula, ya wajar saja aku pemula. Rasanya ingin menjerit, protes pada panitia agar kami tidak dipisah-pisah seperti ini. Gregettt ..!! aku gak bisa caranya memasang atau mebuat bivak. Yang lebih greget ketika aku tau bahwa aku ditempatkan yang mana disekelilingnya terdapat banyak pohon pisang dan rumput-rumput tinggi serta hewan melata yang mungil hinggap di batang pisang juga di dedaunan rumput tinggi tersebut. “taukah akang? Saya takut HILEUD!! Please, jangan disini” kalimat ini yang pertama muncul dibenakku, saat kang Iqbal benar-benar menempatkanku didaerah ini.
 “seandainya bukan malam hari, dan aku tau arah jalan pulang.. aku pengen kabur!!, sayangnya aku tak tau arah jalan pulang” batinku. “eh jangan kabur, niat kamu disini mau apa? Masa baru segini aja kamu ciut? Inget tujuan utama kamu apa?! Ini belum seberapa hey!!!!”. Batinku berseteru. Aku masih mematung. Sulit sekali rasanya bergerak untuk memulai membuat bivak ini. (sieun hileuddd pangpangna mah T.T). Aku coba memanggil Mia dan menghampirinya, bertanya mengenai pembuatan bivak. Aku kembali lagi ketempat untuk memulai membuatnya, tapi masih ragu. Diam lagi, dan mematung. Gelisah. Akhirnya aku memanggil panitia akhwat, Alhamdulillah teh Ana mau membantuku, walau ternyata aku belum bergerak penuh –masih ragu-. Aku menghela nafas, beristighfar dan mencoba memberanikan diri untuk bergerak maksimal. Alhamdulillah, bivak ku jadi.. horee (eh tapi asa aneh bivak teh, ga ada jalan buat masuknya ditambah bentuknya juga aneh, ga mirip sama yang pernah dijelasin sama kang Dera, jauh bgt malah, haha. Maklum, PEMULA- haha keukeuh-).
Yeye lalala yeyeye lalala bivaknya jadi. Setelah itu kami diperkenankan memasak untuk makan malam. Males, kalo boleh jujur. Pengennya langsung istirahat soalnya udah kedinginan banget. Akhirnya sih kami masak, tapi cuma masak mie goreng. Sebelum makan, olah raga dulu dengan tujuan agar kami gak merasa terlalu dingin. Sebelum kami memakan masakan kami, kami diberi hadiah berupa suapan oleh mas’ulah yaitu oleh teh Ria. Katanya sih masakan special buat kami. Setelah dicicipi, oh wow amazing ada kriuk-kriuknya yang ternyata itu adalah jengkol. Hah-hah-hah. Untung masih wangi, mulutnya gak bau jengkol.
Akhirnya kami dipersilahkan untuk istirahat. Jaket, sapu tangan, syal dan kaos kaki sudah aku kenakan. Aku mencoba memejamkan mata, berdo’a. Masih belum bisa tidur, berkali-kali berdo’a dan membacakan qur’an surat-surat pendek tetap saja ada kejanggalan dalam hati. Malam semakin larut, entah jam berapa. Jadi gak tenang, khawatir, takut, dingin.. campur aduk. Sesekali mendengar dengusan suara marwah, lumayan tidak terlalu tiiiseun, serasa ada teman. Hhehee. Akhirnya sih terlelap juga. Sekitar jam 2 pagi aku terbangun dengan teriakan kang heri yang memang sedang membangunkan kami untuk qiyamulllail. Sebetulnya sih udah bangun tapi ga berani buka mata, hehe. Santri akhwat telat lagi. Sebagai iqobnya kami semua –santri ikhwan akhwat- harus push-up. Subhanallah, terlambat satu detik sama dengan satu kali push-up dan satu orang terlambat sama dengan semua yang kena iqobnya.
Setelah qiyamullail, kami berkumpul. Diteriaki, ditanya tentang tujuan kami mengikuti nyalasar ini?!  Lucunya ketika ada yang menjawab bahwa mengikuti nyalasar ini adalah untuk mencari ridho Allah, lalu mas’ul (kang Dera) menyuruh kami untuk balik kanan dan mencari ridho Allah tersebut kami menurutinya. Bahkan yang memang membuatku heran ko ikhwan malah nyenter-nyenter pepohonan? Haha tapi aku mengikutinya barangkali aja aku menemukan inspirasi untuk menjawab pertanyaan yang lain dari kang Dera. Mungkin kang dera kesal pada kami, akhirnya akhwat disuruh ke depan tenda panitia akhwat. Aku kira akhwat disuruh kembali ke bivaknya masing-masing, ternyata salah. Kami disuruh berdiri dan bershaf, lalu berhadapan dengan temannya. Astahfirullah, kang Dera menyuruh kami untuk saling menampar, supaya kami gak kedinginan katanya. Kebetulan sekali aku berhadapan dengan Awliya. Oh wooww tamparan dia keras dan benar terasa peureus. Entah kenapa aku tamparanku perasaan melesat terus, mungkin gugup menampar teman sendiri. Asli, Awliya terlihat asyik menamparku, dikiranya ini pipi adonan kali ya?! L
Setelah acara tampar menampar selesai Alhamdulillah tak berbekas sakitnya. Oh tidak cukup dengan tampar menampar, aku disuruh untuk tidur. Hampir saja aku berlalu ke bivak, untungnya aku bertanya terlebih dahulu dan ternyata aku harus tidur ditanah yang aku injak ini. Disusul oleh Awliya menindihku, lalu Marwah, dan yang paling atas adalah mia. Subhanallah.. badan yang ramping ini ditempatkan di paling bawah dan harus menahan beban berat temanku yang lain yang lebih besar dari aku. Syukurnya aku jadi gak merasa kedinginan lagi. Kami disuruh kumpul lagi ditempat utama. Berhadapan lagi, dan lagi-lagi aku berhadapan dengan Awliya (jodoh kali ya, haha *eh) kali ini bukan acara tampar menampar, tapi meletakkan telapak tangan di pipi temannya, mengusapnya dan mengikuti apa yang dikatakan oleh kang Ence. Setelah mengusap pipi kiri dan kanan temannya, berganti mengusap ujung hidung temannya. Lucu campur geli, Awliya bukan mengusap hidungku, tapi dia malah memutar-mutar hidungku dengan telunjuknya. Aduh! Gak kuat pengen ketawa, sekalinya ketawa kena marah deh. Haha asli itu yang paling aku ingat dari keisengan Awliya. Lalu ganti lagi dengan menempelkan pipi kami dengan teman yang dihadapannya sambil berpelukan. Moment ini yang membuatku terharu. Setiap kata yang kang Ence ucapakan mengingatkanku pada almarhumah sahabatku yang seminggu lalu telah berpulang lebih dulu. Hampir saja air mata ini menetes, aku tahan (malu ih tiba-tiba nangis mah). Aku lepaskan tempelan pipi ini karena melihat temanku yang lain sudah melepaskannya, tapi Awliya nyeletuk “eh belum tau, itu ikhwannya masih gitu”. “oh belum gitu? Tapi itu akhwat yang lain udah pada lepas ul..” bisikku di telinganya, karena posisi kami kembali saling tempel pipi. Sebenernya sih ragu tempelan lagi tuh, tapi yasudahlah nurut aja. Tak lama kemudian eh, salah satu panitia ikhwan ada yang menyeru pada kami berdua untuk melepaskan tempelan pipi ini. Aduhaii… malu sekali, ternyata memang sudah kembali ke posisi semula hanya kami berdua yang masih anteng dengan posisi tempelan ini. (asli maluuu).
Rencananya selepas acara berhadap-hadapan ini kami akan melakukan sebuah tradisi menyambut anggota baru berupa penyematan syal Matagira. Namun, saat mas’ul (kang dera) hendak menyampaikan sambutannya acara penyematan ini dibatalkan. Benar-benar batal. Semua lilin yang menyala dan sudah terpajang rapih membentuk lingkaran ini disuruhnya untuk di padamkan. Deg! Kaget. Apalagi dengan nadanya yang setengah terlihat kesal membuatku ciut. Katanya kami para santri tidak layak menjadi anggota Matagira, karena kami terlihat tidak sungguh-sungguh melakukan nyalasar ini terutama dalam hal kedisiplinan kami masih suka terlambat. Ya aku akui memang masih jauh untuk disebut disiplin. Semua diam dan hening. Akhirnya kami dipersilahkan bubar dan kembali ke tenda masing-masing. Tak lama dari itu adzan subuh berkumandang.
***

Selepas shalat subuh kami membaca al-ma’surat bersama, kultum oleh salah satu santri ikhwan yaitu Widi serta olahraga. Aku tak melewati moment pagi yang sejuk ini, aku hirup dalam-dalam udara pagi ini, subhanallah segar. Udara bersih tanpa polusi. Pagi ini alam ikut bertasbih, dedaunan yang melambai-lambai angin yang bertiup seolah itu adalah suara gemericik air dan berpadu dengan kicauan burung yang mirip seperti burung mockgay. Merdu. Subhanallah.
Kami membereskan bivak dan perlengkapan lainnya. Membuat sarapan pagi dengan menu mie instan serta sarden. Semua instan, karena berlomba dengan waktu. Tapi tetap saja kami terlambat berkumpul. Setelah barang bawaan kami dirapihkan di tempat utama, kami berkumpul untuk melakukan pemuncakkan ke gunung sanggara ini. Seneng rasanya, gak sabar pengen berada di puncak. Sayangnya kami hanya diberi waktu yang mungkin cukup bagi pendaki yang sudah hafal medan jalannya, tapi bagi kami sebagai pemula, benar-benar ujian. Sepanjang pemuncakkan kami berputar-putar mengelililngi kaki gunung. Salah jalan. Aku yang memang awam tentang pendakian ini hanya mengikuti mas’ulah dan berdo’a agar aku bisa kembali turun dengan selamat. Xixixi. Hampir saja kami berhasil tiba di puncak, karena berbagai hal terutama masalah waktu, yang mana kami di amanahi sampai jam 10.40 (kalo ga salah) mau tak mau harus segera turun. Akhirnya dengan berat hati tapi setuju (dari pada dapet hukuman yang wooww gitu) kami memutuskan untuk turun. Miris sekali ketika kami istirahat dan memakan beberapa perbekalan yang kami bawa ternyata (katanya, allahu ‘alam sih :D) mas’ulah kehilangan jejak. Aku kira beliau turun lagi, ternyata beliau mendahului kami ke puncak dengan jalurnya sendiri. Kami melanjutkan peerjalanan turun ini, yang mana tak lama kemudian terdengar teriakan kang Ence menghitung sebagai tanda bahwa kami akan mendapat iqob lagi jika tak tepat waktu. Eh ternyata benar saja dugaanku. Di push-up lagi bro!
***

Yeahh!! Akhirnya pulang. Kami keluar dari hutan sanggara, lari, ya kami disuruh lari. Jalanan sangat licin mungkin karena kemarin hujan terus mengguyur bumi ini. ketika turunan, keseimbanganku hilang akhirnya aku terpeleset. Sakit sekali ini pinggangnya. Tapi aku tak terlalu menghiraukannya takut ketinggalan sama yang lain. Setelah menempuh jarak yang cukup lumayan jauh, Alhamdulillah istirahat, setibanya di tempat yang telah panitia sediakan yaitu hamparan ladang yang hijau. Kami berkumpul lagi, kali ini panitia menyuguhkan makanan dengan racikan alami (katanya). Makanan itu dibungkus dengan dedaunan menyerupai jagung, ketika kami mencicipinya (disuapin sama teh ika) subhanallah asem, manis, asin.. kaya permen nano rasanya. Racikan itu tiada lain mengandung asin kere penyedap rasa. Haha.
Setelah makan masakan panitia tadi, kami mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat dzuhur. Selepas shalat dzuhur kami share bersama teh ika terkait tentang matagira. Karena asyiknya share dengan beliau, sampai-sampai saat panitia meneriaki kami dengan hitungan pertanda kami harus segera berkumpul di sumber suara. Terlambat lagi. Akhirnya kami mendapat hadiah berupa jalan jongkok, berenang di sungai kecil, tiarap di rerumputan hijau serta saling menyiramkan air pada wajah teman yang ada dihadapannya. Kali ini aku berpasangan dengan Mia. Setiap satu kali kami menyiram wajah teman kami, berarti satu ucapan memohon ampunan padaNya, baik itu terkait tentang tujuan atau niat kami yang belum lurus untuk mengikuti nyalasar ini atau sikap dan ucap yang tak disadari telah menyakiti orang disekitar. Setelah itu kami berkumpul kembali diatas rerumputan hijau dengan keadaan basah kuyup. Kami diminta untuk menyebutkan hikayat matagira dari 1-10 dan pemberian nama rimba. Nama rimbaku “geblug”, filosofinya mungkin karena aku sering mengatakan kata nyorodot yang akhirnya aku terpeleset seperti nyorodot pula. Nasib. Setelah semua para santri memiliki nama rimba, kami melanjutkan perjalanan pulang.
***

“Angkot kuning melajulah dengan cepat bawalah kami kembali menuju kampus tercinta” gumamku antusias. Semua terlelap dengan baju basahnya. Aku terbangun dan bertanya-tanya sendiri saat mobil yang kami tumpangi tak lagi melintasi jalan raya yang biasa aku lewati jika pulang dari kampong halaman. Ah mungkin memotong jalan, fikirku tak ambil pusing dan kembali aku tidur. zzzZZZzz. Tak lama kemudian mobil yang kami tumpangi ini berhenti di daerah cipaku. Ada yang tak beres nih gumamku. Dan benar saja, kami turun dari mobil lalu kami harus menggerakkan tubuh dengan berlari-lari seraya bernyanyi. Setelah itu, kami benar-benar kembali ke kampus tercinta dengan berlari dan tetap berpegangan tangan satu sama lain tak boleh lepas. Rasa dingin ini menyeruak pada setiap pori. Mega merah telah menyapa dipenghujung acara ini, pelangipun melambaikan senyuman terindahnya meski bias warna yang terlihat. Sungguh, senja yang membuat rona wajah kembali berseri.  Kami terus berlari dengan posisi yang sama, berpegangan tangan. Hingga akhirnya tepat saat kami memasuki kampus tercinta menuju halaman masjid Al-Furqon, kami semua bertakbir… ALLAHU AKBAR!! MATAGIRA DIEN ALLAHU AKBAR!! 
Kami, santri nyalasar resmi menjadi anggota muda angkatan pertama dengan penyematan syal biru oleh orang-orang tercinta. THE END ^_^
Tiada langkah terayun tanpa dzikir terlantun. Bahwasanya setiap gerak yang kita lakukan semoga bernilai ibadah dihadapanNYa. Bersama keluarga baru, MATAGIRA, berharap aku dapat lebih mengkondusifkan dan mendekatkan diri kepadaNYa.

NB: mohon maaf jika ada kata yang tertuang dalam tulisan ini kurang berkenan di hati pembaca. Jazakumullah ahsana jaza untuk rekan-rekan (AM) serta kaka-kaka (DP dan AP) yang telah memberi warna dalam perjalanan ini, selalu terselip ibroh disetiap kejadian. MATAGIRA DIEN ALLAHU AKBAR J

3 komentar:

  1. Waah gak nyangka disuruh saling tampar.. hehee

    Mantaaap (y) :D

    BalasHapus
  2. tenang nanti mah bakal yg lbh unik dr menampar :D

    BalasHapus
  3. Masya Allah, ini mah lebih lebih NYALASAR-nyaa :'(

    BalasHapus